Purworejo | bagelenchannel.com – Di masa kejayaannya gerabah asal Desa Wonoroto, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pernah merajai dan menyedot minat pasar lokal maupun luar daerah. Namun kini keberadaan kerajinan yang pernah menjadi primadona di wilayah tersebut, sungguh sangat menyedihkan, bahkan bisa dikatakan mati suri, mati enggan hidup pun tak mau.
Padahal dahulu para perajin setempat membuat berbagai karya seperti padasan atau tempat air wudhlu, gentong, pot bunga, kuali, klenthing, guci dan vas bunga. Bahkan tidak sedikit perajin yang bekerjasama pemasaran dengan galeri di Yogyakarta. Utamanya produk guci dan vas bunga untuk dijual di Kota Gudeg dan sekitarnya. Namun kerjasama itu tidak bertahan lama. Hal itu seakan menjadi kenangan indah pada masa jayanya puluhan tahun silam.
Namun fakta kini berkata lain, di tengah perubahan dan perkembangan jaman serta pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, justru keberadaan para perajin gerabah itu, terus meredup tergerus oleh jaman digital yang serba canggih. Warga masyarakat, kini sudah mulai bergeser, beralih ke peralatan rumah tangga yang terbuat dari plastik dan logam dibanding gerabah.
Menurut salah satu perajin gerabah yang masih mencoba untuk bertahan, Widiyanto alias Kelik, bahwa kesulitan pemasaran menjadi pemicu utama meredupnya bisnis gerabah di daerahnya.
“Berbagai inovasi dilakukan dalam beberapa bulan terakhir ini, yakni dengan memproduksi souvenir bedug Pendowo yang merupakan bedug terbesar di dunia, kemudian becak, serta kaligrafi,” katanya.
Namun demikian belum bisa maksimal seperti yang diharapkan. Untuk mencoba bertahan ia masih terus memproduksi beberapa jenis gerabah yang lazim digunakan masyarakat perdesaan.
“Diantaranya blengker dan kendil, karena hanya dua jenis itu yang masih laku terjual untuk sekedar bertahan. Sekarang blengker hanya dipakai rumah tangga untuk memasak dengan kayu, sedangkan kendil untuk keperluan adat tertentu,” imbuhnya.
Diceritakan juga, bahwa dahulu perajin gerabah di Desa Wonoroto berjumlah hingga belasan. Namun kini hanya tinggal satu dua saja yang tetap bertahan, sementara perajin gerabah lainnya telah beralih ke usaha lain. Ada juga yang bertahan dengan membuat batu bata merah dan genting.
“Ada juga yang berupaya dengan membuat topeng tanah liat untuk mainan anak-anak, hiasan dinding dan gantungan kunci. Karena dipandang prospeknya kurang bagus, sehingga saat ini tidak ada anak muda yang mau belajar membuat gerabah. Buruh gerabah tidak bisa untuk penghasilan pokok,” pungkasnya.
(Widarto)