
Oleh : Ayung Lesmana Rahmadhan (232160008)
Geliat kegiatan seni dan sastra selalu membutuhkan pelopor untuk memantik hidupnya ekosistem seni dan sastra, jika tidak ada yang memulai untuk mengawali berkegiatan seni dan sastra, tidak akan ada kegiatan seni dan sastra yang akan menghidupkan ekosistem kesenian. Sehinga sosok pelopor sangatlah penting untuk memicu dan menginspirasi orang lain untuk turut serta meramaikan dunia kesenian, hal inilah yang dilakukan Sunarno dengan Sanggar Karawitan dan Pedalangan Kumpul Laras yang beralamat di Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Sebelum mendirikan Sanggar Kumpul Laras Sunarno adalah seorang ASN yang bekerja di Serang. Di sana Sunarno sudah aktif dalam kegiatan seni terutama seni karawitan dan pedalangan, ia mengajar siapapun yang mau belajar ketika waktu senggang. Lalu pada tahun 2007 ketika ia pensiun dan kembali ke kampung halamannya di Bagelen, ia melihat bahwa kegiatan seni di daerahnya lesu, tidak ada kegiatan seni yang meramaikan ekosistem kesenian di sana.
Sehingga ia berinisiatif untuk menciptakan sanggar seni untuk memberi wadah bagi mereka yang ingin mengekspresikan passion dalam bidang seni terutama seni karawitan dan pedalangan. Pada mulanya Sanggar Kumpul Laras mengadakan dua kegiatan rutin dalam selapan atau 35 hari sekali yakni pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon,
“Awalnya setiap Selasa dan Jumat Kliwon saya mengadakan pentas wayang yang dihadiri oleh orang-orang dari berbagai daerah, lalu setelah itu muncullah berbagai sanggar seni baru seperti di Posong, Kalirejo, dan Purwodadi. Anggota sanggarpun ada yang menciptakan sanggar baru,” terang Sunarno ketika diwawancara pada Rabu (25/6/2024) kemarin.

Kegiatan pada Sanggar Kumpul Laras berkutat pada latihan dan pentas pedalangan. Yang terdiri dari latihan karawitan, mendalang, dan nembang, ketiganya merupakan komponen inti pada pertunjukkan wayang. Khusus untuk latihan mendalang, latihan dilakukan pada malam hari dan Sunarno hanya mau mengajar bila ada minimal lima peserta, hal ini karena menurutnya latihan mendalang itu memerlukan usaha yang cukup menguras tenaga, jadi menurut hematnya akan sangat disayangkan dalam satu pertemuan ia hanya bisa mengajar sedikit orang. Menurutnya lelah yang ia rasakan tidak sepadan, sehingga bagi siapapun yang ingin berlatih mendalang di sangar ini sebaiknya telah memiliki rombongan minimal lima orang.
Sanggar Kumpul Laras memiliki struktur keorganisasian sebagai berikut, Sunarno sendiri menjabat sebagai ketuanya, kemudian dibantu seorang sekretaris dan bendahara, dan selebihnya adalah anggota. Meskipun memiliki struktur keorganisasian sanggar di Desa Bagelen ini tidak terlalu ketat dalam pengelolaan organisasinya, asasnya adalah kekeluargaan. Siapapun yang bisa membantu maka uluran tangannya akan diterima, sehingga rasa persaudaraannya sangat kental sebab tidak ada istilah atasan atau bawahan, kedudukan sama tinggi dan sama rendah.
Semua yang menjadi bagian Sanggar Kumpul Laras dianggap sebagai saudara. Disamping itu sanggar ini juga tidak memungut kas atau iuran rutin pada anggotanya, lalu darimana biaya penyediaan sarana dan prasarananya berasal? Semua sarana dan prasarana yang dipergunakan oleh Sanggar Kumpul Laras adalah milik Sunarno, ia memilikinya saat dahulu masih berada di Serang. Lalu ia bawa pulang ke kampung halamannya ketika ia telah pensiun, sedangkan untuk pemeliharaan gamelan Sunarno bisa melakukannya sendiri. Ia bisa melakukan tunning pada gamelan yang tidak selaras lagi nadanya saat dipukul, sedangkan dudukan atau tempat meletakkan gamelannya dibuat sendiri oleh Sunarno dari kayu, bisa dibilang Sunarno adalah penopang bagi Sanggar Kumpul Laras, mulai dari penyediaan fasilitas sampai perawatan dan pelatihan dilakukan sendiri olehnya.

Saat ini kegiatan Sanggar Kumpul Laras tidak lagi sesemarak dahulu. Dulu ketika awal-awal dibukanya sanggar ini, antusiasme masyarakat sangat besar, karena sanggar ini adalah sedikit dari wadah yang bisa mereka pakai untuk menyalurkan bakat dan minat mereka di bidang seni karawitan dan pedalangan. Sehingga pesertanya banyak dan berasal dari berbagai tempat di Kabupaten Purworejo, seperti dari Purwodadi, Bagelen, Kalirejo, Banyuurip dan daerah pesisir semuanya mengiblat pada Sanggar Kumpul Laras.
Namun setelah banyaknya sanggar-sanggar seni yang muncul dan anggotanya ada yang memisahkan diri dan membentuk sanggar sendiri, Kumpul Laras jadi kurang ramai dan semarak. Meski demikian Sunarno merasa senang karena melihat banyaknya sanggar-sanggar baru berarti geliat kegiatan seni di wilayahnya bisa menjadi lebih hidup dan bervariasi, ia menerangkan bahwa ia tak mencari ketenaran atau tujuan materiil apapun dari Sanggar Kumpul Laras, melainkan hanya menyebarkan semangat berkesenian.
Lagi pula Kumpul Laras juga masih memiliki kegiatan, jadi ia ingin berfokus dalam hal itu. Namun hal yang ia sayangkan adalah semenjak pandemi melanda pada tahun 2020 lalu, kegiatan sanggar seolah berhenti dan belum pulih lagi, hal ini merupakan dampak diterapkannya protokol kesehatan yang membatasi kerumunan sehingga kegiatan Sanggar Kumpul Laras pun praktis terhenti dan belum pulih sampai sekarang, menurut Sunarno hal ini diakibatkan semangat anggota sanggar belum tergugah lagi, hal ini sangat ia maklumi sebab lamanya kegiatan di sanggar kosong sehingga memang perlu momentum untuk kembali menghidupkan Sanggar Kumpul Laras.
(*)
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo.