Purworejo | bagelenchannel.com – Kesenian Tradisional Tari Dolalak, seakan sudah menjadi trade mark Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Siapa yang tak kenal dengan jenis tari yang memiliki pakaian khas seperti serdadu Belanda pada masa ratusan tahun silam itu. Dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua di wilayah Kabupaten Purworejo bisa dipastikan kenal dan tahu akan keberadaan Kesenian Tradisional Tari Dolalak.
Dalam masa pasang surutnya Tari Dolalak yang diyakini terlahir di Kabupaten Berslogan Berirama itu, hingga saat ini masih eksis dan banyak diminati warga masyarakat. Terbukti dimana ada pertunjukkan Tari Dolalak, pastilah dipenuhi oleh ratusan hingga ribuan penonton. Terlebih tari yang telah bertransformasi dari penari laki-laki ke penari perempuan itu, dibawakan oleh para gadis-gadis jelita nan rupawan.
Salah satu grup Kesenian Tradisional Tari Dolalak yang masih tetap eksis hingga saat ini adalah Grup Dolalak Putri Arum Sari yang dikelola oleh Eny Nur Wahyuningsih (46). Grup Dolalak ini berasal dari Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo.
Diceritakan oleh Eny Nur Wahyuningsih, bahwa nama Dolalak diambil dari tangga nada Do dan La. Karena pada awalnya tarian ini hanya diiringi dengan alat musik dua nada. Dilihat dari sejarahnya, tarian tersebut terinspirasi dari perilaku serdadu Belanda ketika beristirahat di camp mereka saat masa penjajahan.
“Pada saat beristirahat itu para serdadu Belanda kemudian melakukan pesta dengan minum-minuman keras dan berdansa. Aktivitas tersebut kemudian ditiru oleh orang pribumi dan terciptalah gerakan yang sederhana dan berulang-ulang yang kemudian dinamakan tarian Dolalak,” ungkapnya.
Pada awalnya, tarian tersebut dimainkan oleh kaum laki-laki dengan pakaian unik menyerupai serdadu Belanda. Namun seiring berjalannya waktu Tari Dolalak kini dimainkan oleh gadis-gadis cantik sebagai daya tarik tersendiri.
Diiringi dengan musik tradisional berupa kendang, rebana, bedug atau jidur dan lain-lain, Grup Dolalak yang biasanya terdiri dari 10 penari berlenggak-lenggok di atas panggung. Sekali main dalam satu pentas, rata-rata penari memainkan hingga 25 jenis tarian dengan durasi sekitar 5 jam. Dalam perkembangannya, tarian unik itu sering dipentaskan dalam acara hajatan, pemerintahan maupun festival.
Menurut Eny Nur Wahyuningsih, puncak tarian yang didominasi gerakan kirig dan ngetol itu pada saat para pemain mengalami trance atau kesurupan atau dalam Bahasa Jawa Ndadi. Dengan gerakan yang rancak dan indah, penari yang telah kesurupan tersebut biasanya memakan sesaji yang diminta berupa kembang mawar merah, kemenyan, telur dan lain-lain hingga merokok. Sebelum merasuki tubuh pemain, sang arwah atau biasa disebut danyang dipanggil dengan lagu dan gerakan tarian khusus.
“Rata-rata penari mengalami kesurupan bisa menari hingga sekitar satu jam. Setelah itu saya kasih doa khusus agar yang merasuki pemain kembali lagi ke tempat asalnya. Saat kerasukan, penonton biasanya tambah terhibur,” imbuhnya.
Sebelum tarian tradisional yang penuh sakral itu digelar, Eny Nur Wahyuningsih mengaku melakukan persiapan khusus dan berdoa agar sajian budaya tersebut berjalan dengan lancar.
Grup Arum Sari sendiri di wilayah Kabupaten Purworejo sudah cukup kondang dan telah melanglang buana hingga keluar daerah Purworejo. Ia berharap tari tradisional peninggalan para leluhur itu untuk tetap dilestarikan dan perlu dikenalkan kepada generasi penerus sejak usia dini, agar tidak lenyap ditelan modernisasi maupun perkembangan jaman. (Widarto)