Bagelen | bagelenchannel.com – Masjid Santren Bagelen yang berada di Dusun Santren, Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, merupakan masjid kuno yang umurnya paling tua sendiri di wilayah Bagelen. Masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Jawa, dan bangunan bagian atapnya berbentuk tajuk tumpang satu tersebut, dibangun di tahun 1618 Masehi. Konstruksi kayu serta gonjo masjidnya sama dengan Masjid Menara Kudus lan Masjid Kajoran, Klaten. Para ahli sejarah memiliki padangan bahwa masjid-masjid itu dibangun di jaman yang sama atau dibangun oleh satu orang. Di bagian sisi utara dan selatan masjid, terdapat makam yang cukup banyak dan bercungkup. Sebagian merupakan makam kuno yang ada prasastinya.
Sementara itu pada bagian dalam masjid, terbagi menjadi dua ruangan, pertama bagian serambi masjid dan kedua merupakan ruang utamanya. Ruang utama Masjid Santren merupakan sebuah bujur sangkar atau persegi empat, dengan ukuran 10 x 10 meter. Entah memiliki arti apa, namun lantai masjid dibuat warna hijau semua, bahkan dari catatan sejarah yang ada sejak dahulu warnanya memang hijau, tidak ada orang yang berani mencoba untuk merubah warna tersebut. Di dalam ruang utama masjid juga bisa ditemui 4 buah soko guru atau tiang utama masjid yang dibuat dari kayu jati berbentuk bulat dan memiliki garis tengah 40 centimeter. Tak hanya itu untuk memperkokoh ruang utama masjid itu, juga disangga dengan menggunakan, 12 buah soko rowo yang terbuat dari kayu jati berbentuk bulat.
Pada sebuah soko rowo, yang terletak di sisi kanan mihrab terdapat sebuah pasasti. Tulisannya menggunakan huruf Arab yang berbunyi, “Mejid iki dibangun ing negara kang agung, kanggo para leluhur sing wis tilar donya mundhi dhawuh saka Sultan Mataram. Diparingake marang Ustadz Baidlowi lan sing sabenere gawe mejid iki Khasan Muhammad Shufi. Muga-muga wae piyambake oleh ridla Allah, arupa nikmate donya lan akhirat sarta katetepna imane.”
Sejarah dibangunnya Masjid Santren ini, tidak bisa lepas dari sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Panembahan Senopati. Menurut keterangan sejarahwan dan budayawan Radix Penadi, bahwa tanpa adanya 200 kenthol atau jawara dari Bagelen, kecil kemungkinan Mataram bisa berdiri dan Panembahan Senopati bisa memukul mundur balatentara dari Pajang.
Oleh karena itulah wilayah Bagelen menjadi sebuah tempat yang penting bagi Kerajaan Mataram, Bagelen disebut sebagai “Negara Agung.” Yaitu sebuah wilayah istimewa yang berada di luar ibu kota Kerajaan Mataram. Bagelen merupakan pusat pertahanan terakhir Kerajaan Mataram sebelum pasukan musuh menyerang ibu kota kerajaan. Waktu itu, Bagelen juga dijadikan sebagai Tanah Perdikan, yang warganya dibebaskan dari kewajiban untuk membayar pajak. Dari catatan sejarah yang ada, baru pada jaman kolonial Belanda, rakyat Bagelen dipaksa untuk membayar pajak hingga sekarang.
Tidak hanya pada jaman Panembahan Senopati orang-orang Bagelen memiliki jasa besar terhadap Kerajaan Mataram. Termasuk pada saat Kerajaan Mataram menemui jaman keemasan, ketika pucuk pimpinannya dipegang oleh Sultan Agung di tahun 1613-1645 Masehi. Menurut cerita dari juru kunci Masjid Santren Widodo Haryoko (65), bahwa di jaman itu terdapat seorang ulama besar dan sakti bernama Kyai Baidlowi di wilayah Tanah Bagelen.
“Ulama itu diketahui sebagai anak mantu dari Sunan Geseng, dirinya selalu berbhakti dan patuh terhadap Kerajaan Mataram. Utamanya saat Kerajaan Mataram perang melawan balatentara Belanda. Dengan kesaktiannya yang tinggi, Kyai Baidlowi sering mengalahkan para balatentara Belanda di medan peperangan,” katanya.
Oleh karenanya, atas jasa-jasa besar itulah Kyai Baidlowi oleh Sultan Agung melalui istrinya memberi hadiah sebuah masjid. Setelah jadi masjid tersebut lantas diberi nama Masjid Santren Bagelen. Sementara itu arsitek yang membuat masjid itu bernama Khasan Muhammad Shuufi. Yaitu seorang arsitek kondhang yang hidup pada jaman itu.
“Selaku sejarahwan Radix Penadi pernah berpendapat bahwa patut diduga, hadiah itu merupakan pertanda bahwa pertahanan Kerajaan Mataram tergantung pada hubungan baik antara Mataram dengan Bagelen. Dibangunnya Masjid Santren juga sebagai pertanda bahwa Islam sudah masuk wilayah Bagelen pada jaman pemerintahan Sultan Agung,” tambahnya.
Akhirnya Kyai Baidlowi dan putrannya yang bernama RKH Chasan Moekibad juga dimakamkan di Kompleks Makam Masjid Santren Bagelen. Maka tidak mengherankan, jika hampir setiap hari ada saja orang yang datang untuk keperluan berziarah. Tidak main-main, saat peringatan hari-hari besar Agama Islam para peziarah yang datang sangat banyak.
Masih menurut Widodo Haryoko, para jurukunci yang merawat Masjid Santren Bagelen, harus keturunan dari Kyai Baedlowi. Konon jika dipegang oleh orang lain maka akan celaka. Sebab dahulu pernah ada orang yang mengaku-ngaku sebagai keturunan dari Kyai Baedlowi dan menguasai jabatan sebagai juru kunci, ternyata tidak kuat sakit-sakitan lantas meminta maaf dan mengaku kalau sebenarnya orang tersebut bukan keturunan dari Kyai Baedlowi.
“Dari kejadian itulah, sekarang tidak ada orang yang berani menjadi juru kunci selain orang yang masih keturunan dari Kyai Baedlowi. Saya masih keturunan generasi ke-6, langsung dari Kyai Baedlowi. Bisa juga dalam istilah Jawa disebut sebagai udheg-udheg siwur,” tambahnya.
Lebih jauh Widodo Haryoko bercerita, bahwa sebenarnya Kyai Baedlowi itu asli dari wilayah Godean, Srandakan, Bantul, Yogyakarta. Oleh karenanya di wilayah tersebut sekarang juga terdapat sebuah masjid dan diberi nama Masjid Kyai Baedlowi. Beliau datang ke Tanah Perdikan Bagelen tidak lain adalah untuk hijrah melakukan syiar Agama Islam di wilayah Kedu sebelah selatan. Kala itu beliau hijrah ke Bagelen, bersama dengan Ki Ageng Mangir.
“Setelah sampai di Bagelen, Kyai Baedlowi bertemu jodohnya. Kemudian Kyai Baedlowi menikah dengan RA Lebe Sekh putra nomor tiga dari Sunan Geseng. Setelah menjadi menantu Sunan Geseng, Kyai Baedlowi namanya semakin tersohor. Perlu diketahui juga bahwa Pangeran Diponegoro pada saat bergerilya melawan penjajahan colonial Belanda, juga pernah menginap di Masjid Santren Bagelen. Selain makam keluarga Kyai Baedlowi, di kompleks makam Masjid Santren Bagelen juga terdapat makam Adipati Pragolopati yang selalu menjadi buronan Belanda ketika itu,” pungkasnya.
(Widarto/Eko Mulyanto)