Bagelen | bagelenchannel.com – Jejak Sunan Kalijaga pertama di Tanah Bagelen, diketahui berada di Petilasan Sunan Geseng. Letaknya berada di lereng Gunung Si Ringin, Dusun Gatep, Desa/Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Tempat ini diyakini sebagai tempat bertemunya Sunan Geseng (Ki Cokrojoyo-red) dengan Sunan Kalijaga. Di sana terdapat sebuah cungkup yang di dalamnya terdapat sebuah batu besar berwarna hitam. Oleh masyarakat sekitarnya disebut sebagai batu gosong, konon ceritanya batu itu merupakan tempat duduk Sunan Geseng pada saat diuji oleh gurunya Sunan Kalijaga, untuk menunggui tongkat Sang Guru. Karena ditinggal lama maka di sekitar tempat duduk Sunan Geseng ditumbuhi oleh semak belukar, maka untuk mencari keberadaan muridnya, Sunan Kalijaga membakar tempat tersebut hingga hangus. Sejak saat itu Ki Cokrojoyo mendapat gelar sebagai Sunan Geseng.
Menurut juru kunci petilasan Sunan Geseng, Budiono (55), dalam sejarah Babad Bagelen, Ki Cokrojoyo adalah buyut dari Nyai Ageng Bagelen, yang hidup di abad XV Masehi. Setiap harinya Ki Cokrojoyo bekerja sebagai penyadap (dalam Bahasa Jawa disebut tukang nderes legen-red) nira dari pohon kelapa. Saat menyadap nira, di atas pohon kelapa, Ki Cokrojoyo selalu mendendangkan lagu Macapat Pucung. Yang syairnya berbunyi;
Klunthang klunthung,
Wong nderes buntute bumbung,
Esuk sore nderes,
Rina wengi nitis gendhis,
Gawe sajeng,
Gawe tuwak kala-kala.
Secara kebetulan, sewaktu Ki Cokrojoyo sedang menyadap nira dan melantunkan tembang tersebut, Sunan Kalijaga lewat di bawahnya. Masih menurut Budiono, lantas Sunan Kalijaga berkata, “Wah, Ki Sanak, lagu yang sedang Andika nyanyikan sungguh bagus sekali, terdengar enak di kuping. Lagu apakah itu gerangan,” tanya Sunan Kalijaga.
“Maaf, Ki Sanak, itu adalah tembang mantra yang sering saya lantunkan jika aku sedang menyadap nira seperti sekarang ini. Saya bekerja sambil memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar diberikan keselamatan, kesehatan, dan rejeki berlimpah berupa nira yang banyak,” jawab Ki Cokrojoyo.
“Maukah Andika saya ajari sebuah lagu bagus. Mudah-mudahan Allah SWT akan mengabulkan semua doa yang Andika panjatkan kepada-Nya, jika telah hafal lagu ini,” tanya Sunan Kalijaga lagi.
Budiono meneruskan ceritanya, karena Ki Cokrojoyo memang dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai orang yang memiliki kepribadian sangat mulia, baik budi, dan ramah, maka dia merasa sangat senang akan diajari sebuah lagu baru. Di luar dugaan, ternyata Ki Cokrojoyo sangat cerdas dan cepat sekali menyerap apa yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Lagu yang diajarkan tadi sebenarnya adalah sebuah dzikir dengan menyebut nama Allah SWT. Setelah Sunan Kalijaga pergi dari tempat itu, Ki Cokrojoyo meneruskan menyadap nira, sambil terus melantunkan lagu yang baru saja diajarkan tadi.
Di sinilah kata Budiono, keajaiban itu terjadi, Allah SWT memperlihatkan keagungan-Nya. Tak disangka-sangka nira yang keluar dari bunga kelapa bertambah banyak, hingga memenuhi tempat untuk menampungnya (bumbung-red). Tidak berhenti sampai di sini, Allah SWT kembali menampakkan keagungan-Nya. Setelah nira dicetak menjadi gula Jawa, pagi harinya saat dilihat semua berubah menjadi emas.
Ya sejak itu, Ki Cokrojoyo lantas mencari keberadaan Sunan Kalijaga dan menyatakan diri ingin menjadi muridnya. Setelah bertemu, Sunan Kalijaga lantas menguji kemantapan dan kesetiaan Ki Cokrojoyo terhadap dirinya, sebelum resmi diterima sebagai murid. Ki Cokrojoyo diperintahkan untuk menjaga dan memegangi tongkat Sunan Kalijaga. Usai itu, Sunan Kalijaga pergi meninggalkan Tanah Bagelen untuk syiar Agama Islam dan ikut menjalankan roda pemerintahan di Demak Bintara.
Tak terasa, konon Sunan Kalijaga telah meninggalkan Ki Cokrojoyo selama 7 tahun. Ketika teringat akan hal itu, Sunan Kalijaga langsung menuju tempat dimana Ki Cokrojoyo ditinggalkan. Ternyata tempat yang dimaksud telah berubah menjadi sebuah hutan lebat, penuh semak belukar dan tumbuhan bambu ampel. Untuk mencari letak dimana Sang Murid berada, maka dibakarlah hutan tadi oleh Sunan Kalijaga. Bersamaan dengan padamnya api, tampaklah tubuh Ki Cokrojoyo yang tetap utuh duduk bersila di atas batu sambil memegangi tongkat milik gurunya.
Sungguh ajaib Ki Cokrojoyo masih hidup, meski tubuhnya terpanggang oleh panasnya api. Tubuh Ki Cokrojoyo konon hitam legam karena tumbuhan di sekitarnya habis terbakar, lantas dia dibangunkan dari tapa bratanya oleh Sunan Kalijaga dan diberi pakaian baru.
Sejak saat itu Ki Cokrojoyo mendapat gelar baru sebagai Sunan Geseng (geseng dalam Bahasa Jawa artinya gosong-red). Untuk selanjutnya Sunan Geseng menjadi murid kesayangan Sunan Kalijaga. Diceritakan dalam sejarah bahwa Sunan Geseng cepat sekali dalam menyerap ajaran Agama Islam yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Sehingga dalam waktu singkat telah mumpuni dalam menguasai ajaran Agama Islam dan ada sumber yang mengatakan bahwa ilmu yang dimiliki oleh Sunan Geseng sudah setingkat dengan ilmu seorang wali.
Bahkan juru kunci Budiono mengatakan, kalau tak jauh dari batu gosong tempat petilasan Sunan Geseng dibakar, ada sebuah batu raksasa yang disebut sebagai batu Si Rata. Disebut demikian karena permukaan batu sebelah atas sangat rata seperti lantai rumah. Konon di atas batu itulah setiap beberapa bulan sekali dijadikan sebagai salah satu tempat bertekumpulnya para Wali untuk membahas syiar Agama Islam di Pulau Jawa ini dan tempat sholat berjamaah.
Sunan Geseng juga dipercaya oleh Sunan Kalijaga untuk melakukan syiar Agama Islam di wilayah Tanah Bagelen dan sekitarnya. Wajar jika dapat kita jumpai beberapa petilasan Sunan Geseng di wilayah ini. Seperti petilasan Sunan Geseng di Kebumen, Klaten (Jawa Tengah) dan di Piyungan, Bantul (Yogyakarta). Sedangkan makamnya terletak di daerah Argotirto, Magelang, Jawa Tengah. Hal tadi membuktikan bahwa syiar Agama Islam yang dilakukan oleh murid kesayangan Sunan Kalijaga ini, sampai ke daerah-daerah tersebut. Sampai saat ini petilasan Sunan Geseng di lereng Gunung Si Ringin (deretan perbukitan Menoreh-red), Dusun Gatep, Desa/Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah itu, masih ramai dikunjungi oleh para peziarah. (Widarto)